Minggu, 29 April 2012
Politik Luar Negeri Indonesia: Antara Idealisme dan Rasionalisme
Diposting oleh Nhiirmawatyy''amoora ABW di 02.37
Persoalan
inilah yang sejatinya berusaha dikonfrontasi oleh Bung Hatta dalam
pidatonya Mendayung di Antara Dua Karang, yang disampaikan oleh Bung
Hatta di muka Badan Pekerja Komite Nasional Pusat di Yogyakarta pada
1948. Hatta dengan jeli menangkap potensi konflik internal antarkelompok
elite setelah persetujuan Linggarjati dan Renville.Ia menyimpulkan
bahwa pro-kontra terhadap kedua persetujuan antara pemerintah
Indonesia yang baru merdeka dan pemerintah kerajaan Belanda itu
sebenarnya merupakan gambaran konkret dari dinamika politik
internasional yang diwarnai pertentangan politik antara dua adikuasa
ketika itu, Amerika Serikat dan Uni Soviet. Ketika itulah Hatta mulai
memformulasikan adagium politik luar negeri kita yang bebas dan
aktif.
Bila diamati dengan cermat,
sebagaimana ditemukan dalam sebuah tulisan Bung Hatta di jurnal
internasional terkemuka Foreign Affairs (vol 51/3, 1953), politik luar
negeri bebas aktif diawali dengan usaha pencarian jawaban atas
pertanyaan konkret: have then Indonesian people fighting for their
freedom no other course of action open to them than to choose between
being pro-Russian or pro-American? The government is of the opinion
that position to be taken is that Indonesia should not be a passive
party in the arena of international politics but that it should be an
active agent entitled to determine its own standpoint. The policy of
the Republic of Indonesia must be resolved in the light of its own
interests and should be executed in consonance with the situations and
facts it has to face.
Tampak
jelas bahwa ide dasar politik luar negeri bebas aktif yang dikemukakan
oleh Hatta sama sekali bukan retorika kosong mengenai kemandirian dan
kemerdekaan, akan tetapi dilandasi pemikiran rasional dan bahkan
kesadaran penuh akan prinsip-prinsip realisme dalam menghadapi dinamika
politik internasional dalam konteks dan ruang waktu yang spesifik.
Bahkan dalam pidato tahun 1948 tersebut, Hatta dengan tegas
menyatakan, percaya akan diri sendiri dan berjuang atas kesanggupan
kita sendiri tidak berarti bahwa kita tidak akan mengambil keuntungan
daripada pergolakan politik internasional.
Pelajaran
terpenting yang bisa kita ambil dari para founding fathers kita
adalah bahwa politik internasional tidak bisa dihadapi dengan
sentimen belaka. Namun, dengan realitas dan logika yang rasional.
Contoh yang paling sering disebut adalah pilihan yang diambil Uni
Soviet pada 1935 ketika ia harus menghadapi kelompok fasis pimpinan
Hitler. Para pemimpin Uni Soviet menyerukan kader dan sekutunya di
seluruh dunia untuk mengurangi permusuhan dengan kelompok kapitalis
dan menyerukan dibentuknya front bersama melawan fasisme. Kemudian
pada 1939, Uni Soviet mengadakan kerja sama nonagresi dengan musuhnya
sendiri, Jerman. Dengan itu, Soviet terbebaskan untuk beberapa waktu
lamanya dari ancaman penaklukan. Contoh inilah yang dikemukakan
Hatta untuk menggambarkan betapa politik internasional sedapat mungkin
dijauhkan dari prinsip sentimental dan didekatkan pada prinsip
realisme.
Dalam menghadapi dilema
di atas, Soekarno dan Soeharto–dua presiden yang lama
berkuasa–menghadapinya dengan cara yang berbeda. Soekarno menjalankan
politik luar negeri Indonesia yang nasionalis dan revolusioner. Hal
ini tecermin dari politik konfrontasi dengan Malaysia, penolakan keras
Soekarno terhadap bantuan keuangan Barat dengan jargon go to hell
with your aid, dan pengunduran diri Indonesia dari keanggotaannya
dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Landasan pemikiran Soekarno
adalah Indonesia harus menolak perluasan imperialisme dan kembalinya
kolonialisme. Dan pembentukan Malaysia, bantuan keuangan Barat serta
PBB, dalam pemikiran Soekarno ketika itu, adalah representasi
imperialisme dan kolonialisme.
Di
lain pihak, Soeharto menghadapinya dengan cara yang berbeda.
Soeharto dan Orde Baru-nya tidak menolak hubungan dengan
negara-negara Barat, dan pada saat yang bersamaan berusaha untuk
menjaga independensi politik Indonesia. Paling tidak hal ini bisa
dilihat dari kenyataan bahwa Indonesia melalui ASEAN menolak
kehadiran kekuatan militer Barat di kawasan regional Asia Tengggara.
Perlu diperhatikan bahwa Hatta, Soekarno, dan Soeharto bekerja dalam
konteks Perang Dingin dengan fixed-premis-nya mengenai dunia yang
bipolar, terbagi dua antara Blok Barat dan Tim
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar