Proklamasi, ternyata didahului oleh
perdebatan hebat antara golongan pemuda dengan golongan tua. Baik
golongan tua maupun golongan muda, sesungguhnya sama-sama menginginkan
secepatnya dilakukan Proklamasi Kemerdekaan dalam suasana kekosongan
kekuasaan dari tangan pemerintah Jepang. Hanya saja, mengenai cara
melaksanakan proklamasi itu terdapat perbedaan pendapat. Golongan
tua, sesuai dengan perhitungan politiknya, berpendapat bahwa Indonesia
dapat merdeka tanpa pertumpahan darah, jika tetap bekerjasama dengan
Jepang.
Karena itu, untuk memproklamasikan kemerdekaan, diperlukan suatu revolusi yang terorganisir. Soekarno dan Hatta, dua tokoh golongan tua, bermaksud membicarakan pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ( PPKI ). Dengan cara itu, pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan tidak menyimpang dari ketentuan pemerintah Jepang. Sikap inilah yang tidak disetujui oleh golongan pemuda. Mereka menganggap, bahwa PPKI adalah badan buatan Jepang. Sebaliknya, golongan pemuda menghendaki terlaksananya Proklamasi Kemerdekaan itu, dengan kekuatan sendiri. Lepas sama sekali dari campur tangan pemerintah Jepang. Perbedaan pendapat ini, mengakibatkan penekanan-penekanan golongan pemuda kepada golongan tua yang mendorong mereka melakukan “aksi penculikan” terhadap diri Soekarno-Hatta ( lihat Marwati Djoened Poesponegoro, ed. 1984:77-81 )
Karena itu, untuk memproklamasikan kemerdekaan, diperlukan suatu revolusi yang terorganisir. Soekarno dan Hatta, dua tokoh golongan tua, bermaksud membicarakan pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ( PPKI ). Dengan cara itu, pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan tidak menyimpang dari ketentuan pemerintah Jepang. Sikap inilah yang tidak disetujui oleh golongan pemuda. Mereka menganggap, bahwa PPKI adalah badan buatan Jepang. Sebaliknya, golongan pemuda menghendaki terlaksananya Proklamasi Kemerdekaan itu, dengan kekuatan sendiri. Lepas sama sekali dari campur tangan pemerintah Jepang. Perbedaan pendapat ini, mengakibatkan penekanan-penekanan golongan pemuda kepada golongan tua yang mendorong mereka melakukan “aksi penculikan” terhadap diri Soekarno-Hatta ( lihat Marwati Djoened Poesponegoro, ed. 1984:77-81 )
Tanggal 15 Agustus 1945, kira-kira pukul 22.00, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta,
tempat kediaman Bung Karno, berlangsung perdebatan serius antara
sekelompok pemuda dengan Bung Karno mengenai Proklamasi Kemerdekaan
sebagaimana dilukiskan Lasmidjah Hardi ( 1984:58 ); Ahmad Soebardjo (
1978:85-87 ) sebagai berikut:
” Sekarang Bung, sekarang! malam ini juga kita kobarkan revolusi !”
kata Chaerul Saleh dengan meyakinkan Bung Karno bahwa ribuan
pasukan bersenjata sudah siap mengepung kota dengan maksud mengusir
tentara Jepang. ” Kita harus segera merebut kekuasaan !” tukas Sukarni berapi-api. ” Kami sudah siap mempertaruhkan jiwa kami !” seru mereka bersahutan. Wikana malah berani mengancam Soekarno dengan pernyataan; ” Jika
Bung Karno tidak mengeluarkan pengumuman pada malam ini juga, akan
berakibat terjadinya suatu pertumpahan darah dan pembunuhan
besar-besaran esok hari .”
Mendengar kata-kata ancaman seperti itu, Soekarno naik darah dan berdiri menuju Wikana sambil berkata: ” Ini batang leherku, seretlah saya ke pojok itu dan potonglah leherku malam ini juga! Kamu tidak usah menunggu esok hari !”. Hatta kemudian memperingatkan Wikana; “… Jepang
adalah masa silam. Kita sekarang harus menghadapi Belanda yang akan
berusaha untuk kembali menjadi tuan di negeri kita ini. Jika saudara
tidak setuju dengan apa yang telah saya katakan, dan mengira bahwa
saudara telah siap dan sanggup untuk memproklamasikan kemerdekaan,
mengapa saudara tidak memproklamasikan kemerdekaan itu sendiri ? Mengapa meminta Soekarno untuk melakukan hal itu ?”
Namun, para pemuda terus mendesak; ” apakah
kita harus menunggu hingga kemerdekaan itu diberikan kepada kita
sebagai hadiah, walaupun Jepang sendiri telah menyerah dan telah
takluk dalam ‘Perang Sucinya ‘!”. ” Mengapa bukan rakyat itu sendiri yang memproklamasikan kemerdekaannya ? Mengapa bukan kita yang menyatakan kemerdekaan kita sendiri, sebagai suatu bangsa ?”. Dengan lirih, setelah amarahnya reda, Soekarno berkata; “… kekuatan
yang segelintir ini tidak cukup untuk melawan kekuatan bersenjata dan
kesiapan total tentara Jepang! Coba, apa yang bisa kau
perlihatkan kepada saya ? Mana bukti kekuatan yang diperhitungkan itu ? Apa tindakan bagian keamananmu untuk menyelamatkan perempuan dan anak-anak ? Bagaimana cara mempertahankan kemerdekaan setelah diproklamasikan ? Kita
tidak akan mendapat bantuan dari Jepang atau Sekutu. Coba bayangkan,
bagaimana kita akan tegak di atas kekuatan sendiri “. Demikian jawab Bung Karno dengan tenang.
Para
pemuda, tetap menuntut agar Soekarno-Hatta segera memproklamasikan
kemerdekaan. Namun, kedua tokoh itu pun, tetap pada pendiriannya
semula. Setelah berulangkali didesak oleh para pemuda, Bung Karno
menjawab bahwa ia tidak bisa memutuskannya sendiri, ia harus
berunding dengan para tokoh lainnya. Utusan pemuda mempersilahkan Bung
Karno untuk berunding. Para tokoh yang hadir pada waktu itu antara
lain, Mohammad Hatta, Soebardjo, Iwa Kusumasomantri, Djojopranoto, dan
Sudiro. Tidak lama kemudian, Hatta menyampaikan keputusan, bahwa
usul para pemuda tidak dapat diterima dengan alasan kurang
perhitungan serta kemungkinan timbulnya banyak korban jiwa dan
harta. Mendengar penjelasan Hatta, para pemuda nampak tidak puas.
Mereka mengambil kesimpulan yang menyimpang; menculik Bung Karno dan
Bung Hatta dengan maksud menyingkirkan kedua tokoh itu dari pengaruh
Jepang.
Pukul 04.00 dinihari, tanggal 16 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta oleh sekelompok pemuda dibawa ke Rengasdengklok.
Aksi “penculikan” itu sangat mengecewakan Bung Karno, sebagaimana
dikemukakan Lasmidjah Hardi ( 1984:60 ). Bung Karno marah dan kecewa,
terutama karena para pemuda tidak mau mendengarkan pertimbangannya
yang sehat. Mereka menganggap perbuatannya itu sebagai tindakan
patriotik. Namun, melihat keadaan dan situasi yang panas, Bung Karno
tidak mempunyai pilihan lain, kecuali mengikuti kehendak para pemuda
untuk dibawa ke tempat yang mereka tentukan. Fatmawati istrinya, dan
Guntur yang pada waktu itu belum berumur satu tahun, ia ikut sertakan.
Rengasdengklok
kota kecil dekat Karawang dipilih oleh para pemuda untuk
mengamankan Soekarno-Hatta dengan perhitungan militer; antara anggota PETA ( Pembela Tanah Air ) Daidan Purwakarta dengan Daidan Jakarta
telah terjalin hubungan erat sejak mereka mengadakan latihan
bersama-sama. Di samping itu, Rengasdengklok letaknya terpencil sekitar
15 km. dari Kedunggede Karawang. Dengan demikian, deteksi dengan
mudah dilakukan terhadap setiap gerakan tentara Jepang yang mendekati
Rengasdengklok, baik yang datang dari arah Jakarta maupun dari arah
Bandung atau Jawa Tengah.
Sehari penuh,
Soekarno dan Hatta berada di Rengasdengklok. Maksud para pemuda untuk
menekan mereka, supaya segera melaksanakan Proklamasi Kemerdekaan
terlepas dari segala kaitan dengan Jepang, rupa-rupanya tidak
membuahkan hasil. Agaknya keduanya memiliki wibawa yang cukup besar.
Para pemuda yang membawanya ke Rengasdengklok, segan untuk melakukan
penekanan terhadap keduanya. Sukarni dan kawan-kawannya, hanya dapat
mendesak Soekarno-Hatta untuk menyatakan proklamasi secepatnya seperti
yang telah direncanakan oleh para pemuda di Jakarta . Akan tetapi,
Soekarno-Hatta tidak mau didesak begitu saja. Keduanya, tetap
berpegang teguh pada perhitungan dan rencana mereka sendiri. Di sebuah
pondok bambu berbentuk panggung di tengah persawahan
Rengasdengklok, siang itu terjadi perdebatan panas; ” Revolusi berada di tangan kami sekarang dan kami memerintahkan Bung, kalau Bung tidak memulai revolusi malam ini, lalu …”. ” Lalu apa ?”
teriak Bung Karno sambil beranjak dari kursinya, dengan kemarahan
yang menyala-nyala. Semua terkejut, tidak seorang pun yang bergerak
atau berbicara.
Waktu suasana tenang kembali. Setelah Bung Karno duduk. Dengan suara rendah ia mulai berbicara; ” Yang
paling penting di dalam peperangan dan revolusi adalah saatnya yang
tepat. Di Saigon, saya sudah merencanakan seluruh pekerjaan ini
untuk dijalankan tanggal 17 “. ” Mengapa justru diambil tanggal 17, mengapa tidak sekarang saja, atau tanggal 16 ?” tanya Sukarni. ” Saya
seorang yang percaya pada mistik”. Saya tidak dapat menerangkan
dengan pertimbangan akal, mengapa tanggal 17 lebih memberi harapan
kepadaku. Akan tetapi saya merasakan di dalam kalbuku, bahwa itu
adalah saat yang baik. Angka 17 adalah angka suci. Pertama-tama kita
sedang berada dalam bulan suci Ramadhan, waktu kita semua berpuasa,
ini berarti saat yang paling suci bagi kita. tanggal 17 besok hari
Jumat, hari Jumat itu Jumat legi, Jumat yang berbahagia, Jumat suci.
Al-Qur’an diturunkan tanggal 17, orang Islam sembahyang 17 rakaat,
oleh karena itu kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia “.
Demikianlah antara lain dialog antara Bung Karno dengan para pemuda di
Rengasdengklok sebagaimana ditulis Lasmidjah Hardi ( 1984:61 ).
Sementara
itu, di Jakarta, antara Mr. Ahmad Soebardjo dari golongan tua dengan
Wikana dari golongan muda membicarakan kemerdekaan yang harus
dilaksanakan di Jakarta . Laksamana Tadashi Maeda, bersedia untuk
menjamin keselamatan mereka selama berada di rumahnya. Berdasarkan
kesepakatan itu, Jusuf Kunto dari pihak pemuda, hari itu juga mengantar
Ahmad Soebardjo bersama sekretaris pribadinya, Sudiro, ke
Rengasdengklok untuk menjemput Soekarno dan Hatta. Rombongan penjemput
tiba di Rengasdengklok sekitar pukul 17.00. Ahmad Soebardjo
memberikan jaminan, bahwa Proklamasi Kemerdekaan akan diumumkan pada
tanggal 17 Agustus 1945, selambat-lambatnya pukul 12.00. Dengan
jaminan itu, komandan kompi PETA setempat, Cudanco Soebeno, bersedia melepaskan Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta ( Marwati Djoened Poesponegoro, ed. 1984:82-83 ).
Merumuskan Teks Proklamasi Kemerdekaan
Rombongan
Soekarno-Hatta tiba di Jakarta sekitar pukul 23.00. Langsung menuju
rumah Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol No.1, setelah lebih
dahulu menurunkan Fatmawati dan putranya di rumah Soekarno. Rumah
Laksamada Maeda, dipilih sebagai tempat penyusunan teks Proklamasi
karena sikap Maeda sendiri yang memberikan jaminan keselamatan pada
Bung Karno dan tokoh-tokoh lainnya. De Graff yang dikutip Soebardjo (
1978:60-61 ) melukiskan sikap Maeda seperti ini. Sikap dari Maeda
tentunya memberi kesan aneh bagi orang-orang Indonesia itu, karena
perwira Angkatan Laut ini selalu berhubungan dengan rakyat Indonesia.
Sebagai
seorang perwira Angkatan Laut yang telah melihat lebih banyak dunia
ini dari rata-rata seorang perwira Angkatan Darat , ia mempunyai
pandangan yang lebih tepat tentang keadaan dari orang-orang militer
yang agak sempit pikirannya. Ia dapat berbicara dalam beberapa bahasa.
Ia adalah pejabat yang bertanggungjawab atas Bukanfu di
Batavia; kantor pembelian Angkatan Laut di Indonesia. Ia tidak khusus
membatasi diri hanya pada tugas-tugas militernya saja, tetapi agar
dirinya dapat terbiasa dengan suasana di Jawa , ia membentuk suatu
kantor penerangan bagi dirinya di tempat yang sama yang pimpinannya
dipercayakan kepada Soebardjo. Melalui kantor inilah, yang menuntut
biaya yang tidak sedikit baginya, ia mendapatkan pengertian
tentang masalah-masalah di Jawa lebih baik dari yang didapatnya dari
buletin-buletin resmi Angkatan Darat. Terlebih-lebih ia memberanikan
diri untuk mendirikan asrama-asrama bagi nasionalis-nasionalis muda
Indonesia . Pemimpin-pemimpin terkemuka, diperbantukan sebagai
guru-guru untuk mengajar di asrama itu. Doktrin-doktrin yang agak
radikal dipropagandakan. Lebih lincah dari orang-orang militer, ia
berhasil mengambil hati dari banyak nasionalis yang tahu pasti bahwa
keluhan-keluhan dan keberatan-keberatan mereka selalu bisa dinyatakan
kepada Maeda. Sikap Maeda seperti inilah yang memberikan keleluasaan
kepada para tokoh nasionalis untuk melakukan aktivitas yang maha penting
bagi masa depan bangsanya.
Malam itu, dari rumah Laksamana Maeda, Soekarno dan Hatta ditemani Laksamana Maeda menemui Somobuco (
kepala pemerintahan umum ), Mayor Jenderal Nishimura, untuk
menjajagi sikapnya mengenai pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan.
Nishimura mengatakan bahwa karena Jepang sudah menyatakan menyerah
kepada Sekutu, maka berlaku ketentuan bahwa tentara Jepang tidak
diperbolehkan lagi mengubah status quo . Tentara Jepang
diharuskan tunduk kepada perintah tentara Sekutu. Berdasarkan garis
kebi jakan itu, Nishimura melarang Soekarno-Hatta mengadakan rapat
PPKI dalam rangka pelaksanaan Proklamasi Kemerde kaan. Melihat
kenyataan ini, Soekarno-Hatta sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada
gunanya lagi untuk membicarakan soal kemerdekaan Indonesia dengan
Jepang. Mereka hanya berharap agar pihak Jepang tidak menghalang-ha
langi pelaksanaan proklamasi kemerdekaan oleh rakyat Indonesia
sendiri ( Hatta, 1970:54-55 ).
Setelah
pertemuan itu, Soekarno dan Hatta kembali ke rumah Laksamana Maeda.
Di ruang makan rumah Laksamana Maeda itu dirumuskan teks proklamasi
kemerdekaan. Maeda, sebagai tuan rumah, mengundurkan diri ke kamar
tidurnya di lantai dua ketika peristiwa bersejarah itu berlangsung.
Miyoshi, orang kepercayaan Nishimura, bersama Sukarni, Sudiro, dan
B.M. Diah menyaksikan Soekarno, Hatta, dan Ahmad Soebardjo membahas
rumusan teks Proklamasi. Sedangkan tokoh-tokoh lainnya, baik dari
golongan tua maupun dari golongan pemuda, menunggu di serambi muka.
Menurut
Soebardjo ( 1978:109 ) di ruang makan rumah Laksamana Maeda menjelang
tengah malam, rumusan teks Proklamasi yang akan dibacakan esok
harinya disusun. Soekarno menuliskan konsep proklamasi pada secarik
kertas. Hatta dan Ahmad Soebardjo menyumbangkan pikirannya secara
lisan. Kalimat pertama dari teks Proklamasi merupakan saran Ahmad
Soebardjo yang diambil dari rumusan Dokuritsu Junbi Cosakai ,
sedangkan kalimat terakhir merupakan sumbangan pikiran Mohammad Hatta.
Hatta menganggap kalimat pertama hanyalah merupakan pernyataan dari
kemauan bangsa Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri, menurut
pendapatnya perlu ditambahkan pernyataan mengenai pengalihan kekuasaan ( transfer of sovereignty ). Maka dihasilkanlah rumusan terakhir dari teks proklamasi itu.
Setelah
kelompok yang menyendiri di ruang makan itu selesai merumuskan teks
Proklamasi, kemudian mereka menuju serambi muka untuk menemui hadirin
yang berkumpul di ruangan itu. Saat itu, dinihari menjelang subuh.
Jam menunjukkan pukul 04.00, Soekarno mulai membuka pertemuan itu
dengan membacakan rumusan teks Proklamasi yang masih merupakan konsep.
Soebardjo ( 1978:109-110 ) melukiskan suasana ketika itu: “ Sementara
teks Proklamasi ditik, kami menggunakan kesempatan untuk mengambil
makanan dan minuman dari ruang dapur, yang telah disiapkan sebelumnya
oleh tuan rumah kami yang telah pergi ke kamar tidurnya di tingkat
atas. Kami belum makan apa-apa, ketika meninggalkan Rengasdengklok.
Bulan itu adalah bulan suci Ramadhan dan waktu hampir habis untuk makan
sahur, makan terakhir sebelum sembahyang subuh. Setelah kami terima
kembali teks yang telah ditik, kami semuanya menuju ke ruang besar di
bagian depan rumah. Semua orang berdiri dan tidak ada kursi di dalam
ruangan. Saya bercampur dengan beberapa anggota Panitia di
tengah-tengah ruangan. Sukarni berdiri di samping saya. Hatta berdiri
mendampingi Sukarno menghadap para hadirin . Waktu menunjukkan
pukul 04.00 pagi tanggal 17 Agustus 1945, pada saat Soekarno membuka
pertemuan dini hari itu dengan beberapa patah kata.
“Keadaan
yang mendesak telah memaksa kita semua mempercepat pelaksanaan
Proklamasi Kemerdekaan. Rancangan teks telah siap dibacakan di
hadapan saudara-saudara dan saya harapkan benar bahwa saudara-saudara
sekalian dapat menyetujuinya sehingga kita dapat berjalan terus dan
menyelesaikan pekerjaan kita sebelum fajar menyingsing“. Kepada
mereka yang hadir, Soekarno menyarankan agar bersama-sama
menandatangani naskah proklamasi selaku wakil-wakil bangsa Indonesia .
Saran itu diperkuat oleh Mohammad Hatta dengan mengambil contoh pada
“Declaration of Independence ” Amerika Serikat. Usul itu
ditentang oleh pihak pemuda yang tidak setuju kalau tokoh-tokoh
golongan tua yang disebutnya “budak-budak Jepang” turut
menandatangani naskah proklamasi. Sukarni mengusulkan agar
penandatangan naskah proklamasi itu cukup dua orang saja, yakni
Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia . Usul Sukarni
itu diterima oleh hadirin.
Naskah
yang sudah diketik oleh Sajuti Melik, segera ditandatangani oleh
Soekarno dan Mohammad Hatta. Persoalan timbul mengenai bagaimana
Proklamasi itu harus diumumkan kepada rakyat di seluruh Indonesia ,
dan juga ke seluruh pelosok dunia. Di mana dan dengan cara bagaimana
hal ini harus diselenggarakan? Menurut Soebardjo ( 1978:113 ), Sukarni
kemudian memberitahukan bahwa rakyat Jakarta dan sekitarnya, telah
diserukan untuk datang berbondong-bondong ke lapangan IKADA pada tanggal 17 Agustus untuk mendengarkan Proklamasi Kemerdekaan. Akan tetapi Soekarno menolak saran Sukarni. ” Tidak ,” kata Soekarno, ” lebih
baik dilakukan di tempat kediaman saya di Pegangsaan Timur.
Pekarangan di depan rumah cukup luas untuk ratusan orang. Untuk apa
kita harus memancing-mancing insiden ? Lapangan IKADA adalah
lapangan umum. Suatu rapat umum, tanpa diatur sebelumnya dengan
penguasa-penguasa militer, mungkin akan menimbulkan salah faham. Suatu
bentrokan kekerasan antara rakyat dan penguasa militer yang akan
membubarkan rapat umum tersebut, mungkin akan terjadi. Karena itu,
saya minta saudara sekalian untuk hadir di Pegangsaan Timur 56
sekitar pukul 10.00 pagi .” Demikianlah keputusan terakhir dari pertemuan itu.
Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Hari Jumat di bulan Ramadhan,
pukul 05.00 pagi, fajar 17 Agustus 1945 memancar di ufuk timur. Embun
pagi masih menggelantung di tepian daun. Para pemimpin bangsa dan
para tokoh pemuda keluar dari rumah Laksamana Maeda, dengan diliputi
kebanggaan setelah merumuskan teks Proklamasi hingga dinihari. Mereka,
telah sepakat untuk memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia
hari itu di rumah Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta,
pada pukul 10.00 pagi. Bung Hatta sempat berpesan kepada para pemuda
yang bekerja pada pers dan kantor-kantor berita, untuk memperbanyak
naskah proklamasi dan menyebarkannya ke seluruh dunia ( Hatta, 1970:53
).
Menjelang pelaksanaan Proklamasi
Kemerdekaan, suasana di Jalan Pegangsaan Timur 56 cukup sibuk. Wakil
Walikota, Soewirjo, memerintahkan kepada Mr. Wilopo untuk
mempersiapkan peralatan yang diperlukan seperti mikrofon dan beberapa
pengeras suara. Sedangkan Sudiro memerintahkan kepada S. Suhud untuk
mempersiapkan satu tiang bendera. Karena situasi yang tegang, Suhud
tidak ingat bahwa di depan rumah Soekarno itu, masih ada dua tiang
bendera dari besi yang tidak digunakan. Malahan ia mencari sebatang
bambu yang berada di belakang rumah. Bambu itu dibersihkan dan
diberi tali. Lalu ditanam beberapa langkah saja dari teras rumah.
Bendera yang dijahit dengan tangan oleh Nyonya Fatmawati Soekarno
sudah disiapkan. Bentuk dan ukuran bendera itu tidak standar, karena
kainnya berukuran tidak sempurna. Memang, kain itu awalnya tidak
disiapkan untuk bendera.
Sementara
itu, rakyat yang telah mengetahui akan dilaksanakan Proklamasi
Kemerdekaan telah berkumpul. Rumah Soekarno telah dipadati oleh
sejumlah massa pemuda dan rakyat yang berbaris teratur. Beberapa orang
tampak gelisah, khawatir akan adanya pengacauan dari pihak Jepang.
Matahari semakin tinggi, Proklamasi belum juga dimulai. Waktu itu
Soekarno terserang sakit, malamnya panas dingin terus menerus dan
baru tidur setelah selesai merumuskan teks Proklamasi. Para undangan
telah banyak berdatangan, rakyat yang telah menunggu sejak pagi,
mulai tidak sabar lagi. Mereka yang diliputi suasana tegang
berkeinginan keras agar Proklamasi segera dilakukan. Para pemuda yang
tidak sabar, mulai mendesak Bung Karno untuk segera membacakan teks
Proklamasi. Namun, Bung Karno tidak mau membacakan teks Proklamasi tanpa
kehadiran Mohammad Hatta. Lima menit sebelum acara dimulai, Mohammad
Hatta datang dengan pakaian putih-putih dan langsung menuju kamar
Soekarno. Sambil menyambut kedatangan Mohammad Hatta, Bung Karno bangkit
dari tempat tidurnya, lalu berpakaian. Ia juga mengenakan stelan
putih-putih. Kemudian keduanya menuju tempat upacara.
Marwati
Djoened Poesponegoro ( 1984:92-94 ) melukiskan upacara pembacaan teks
Proklamasi itu. Upacara itu berlangsung sederhana saja. Tanpa
protokol. Latief Hendraningrat, salah seorang anggota PETA,
segera memberi aba-aba kepada seluruh barisan pemuda yang telah
menunggu sejak pagi untuk berdiri. Serentak semua berdiri tegak dengan
sikap sempurna. Latief kemudian mempersilahkan Soekarno dan Mohammad
Hatta maju beberapa langkah mendekati mikrofon. Dengan suara mantap
dan jelas, Soekarno mengucapkan pidato pendahuluan singkat sebelum
membacakan teks proklamasi.
“Saudara-saudara sekalian ! saya telah minta saudara hadir di sini, untuk menyaksikan suatu peristiwa maha penting dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh
tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan tanah
air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun. Gelombangnya aksi kita
untuk mencapai kemerdekaan kita itu ada naiknya ada turunnya. Tetapi
jiwa kita tetap menuju ke arah cita-cita. Juga di dalam jaman Jepang,
usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak berhenti. Di
dalam jaman Jepang ini tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada
mereka. Tetapi pada hakekatnya, tetap kita menyusun tenaga kita
sendiri. Tetap kita percaya pada kekuatan sendiri. Sekarang tibalah
saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air
kita di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani
mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan
kuatnya. Maka kami, tadi malam telah mengadakan musyawarah dengan
pemuka-pemuka rakyat Indonesia dari seluruh Indonesia , permusyawaratan
itu seia-sekata berpendapat, bahwa sekaranglah datang saatnya
untuk menyatakan kemerdekaan kita.
Saudara-saudara!
Dengan ini kami menyatakan kebulatan tekad itu. Dengarkanlah
Proklamasi kami: PROKLAMASI; Kami bangsa Indonesia dengan ini
menyatakan Kemerdekaan Indonesia . Hal-hal yang mengenai pemindahan
kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam
tempo yang sesingkat-singkatnya. Jakarta , 17 Agustus 1945. Atas nama
bangsa Indonesia Soekarno/Hatta.
Demikianlah
saudara-saudara! Kita sekarang telah merdeka. Tidak ada satu ikatan
lagi yang mengikat tanah air kita dan bangsa kita! Mulai saat ini
kita menyusun Negara kita! Negara Merdeka. Negara Republik
Indonesia merdeka, kekal, dan abadi. Insya Allah, Tuhan memberkati
kemerdekaan kita itu“. ( Koesnodiprojo, 1951 ).
Acara, dilanjutkan dengan pengibaran bendera Merah Putih.
Soekarno dan Hatta maju beberapa langkah menuruni anak tangga
terakhir dari serambi muka, lebih kurang dua meter di depan tiang.
Ketika S. K. Trimurti diminta maju untuk mengibarkan bendera, dia
menolak: ” lebih baik seorang prajurit ,” katanya. Tanpa ada
yang menyuruh, Latief Hendraningrat yang berseragam PETA berwarna hijau
dekil maju ke dekat tiang bendera. S. Suhud mengambil bendera dari
atas baki yang telah disediakan dan mengikatnya pada tali dibantu
oleh Latief Hendraningrat.
Bendera dinaikkan perlahan-lahan. Tanpa ada yang memimpin, para hadirin dengan spontan menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Bendera dikerek dengan lambat sekali, untuk menyesuaikan dengan
irama lagu Indonesia Raya yang cukup panjang. Seusai pengibaran
bendera, dilanjutkan dengan pidato sambutan dari Walikota Soewirjo dan
dr. Muwardi.
Setelah upacara
pembacaan Proklamasi Kemerdekaan, Lasmidjah Hardi ( 1984:77 )
mengemukakan bahwa ada sepasukan barisan pelopor yang berjumlah kurang
lebih 100 orang di bawah pimpinan S. Brata, memasuki halaman rumah
Soekarno. Mereka datang terlambat. Dengan suara lantang penuh kecewa
S. Brata meminta agar Bung Karno membacakan Proklamasi sekali lagi.
Mendengar teriakan itu Bung Karno tidak sampai hati, ia keluar
dari kamarnya. Di depan corong mikrofon ia menjelaskan bahwa
Proklamasi hanya diucapkan satu kali dan berlaku untuk selama-lamanya.
Mendengar keterangan itu Brata belum merasa puas, ia meminta agar
Bung Karno memberi amanat singkat. Kali ini permintaannya dipenuhi.
Selesai upacara itu rakyat masih belum mau beranjak, beberapa anggota
Barisan Pelopor masih duduk-duduk bergerombol di depan kamar Bung Karno.
Tidak
lama setelah Bung Hatta pulang, menurut Lasmidjah Hardi (1984:79)
datang tiga orang pembesar Jepang. Mereka diperintahkan menunggu di
ruang belakang, tanpa diberi kursi. Sudiro sudah dapat menerka, untuk
apa mereka datang. Para anggota Barisan Pelopor mulai mengepungnya.
Bung Karno sudah memakai piyama ketika Sudiro masuk, sehingga
terpaksa berpakaian lagi. Kemudian terjadi dialog antara utusan
Jepang dengan Bung Karno: ” Kami diutus oleh Gunseikan Kakka, datang kemari untuk melarang Soekarno mengucapkan Proklamasi .” ” Proklamasi sudah saya ucapkan,” jawab Bung Karno dengan tenang. ” Sudahkah ?” tanya utusan Jepang itu keheranan. ” Ya, sudah !”
jawab Bung Karno. Di sekeliling utusan Jepang itu, mata para pemuda
melotot dan tangan mereka sudah diletakkan di atas golok
masing-masing. Melihat kondisi seperti itu, orang-orang Jepang itu pun
segera pamit. Sementara itu, Latief Hendraningrat tercenung
memikirkan kelalaiannya. Karena dicekam suasana tegang, ia lupa
menelpon Soetarto dari PFN untuk mendokumentasikan peristiwa itu.
Untung ada Frans Mendur dari IPPHOS yang plat filmnya tinggal tiga
lembar ( saat itu belum ada rol film ). Sehingga dari seluruh peristiwa
bersejarah itu, dokumentasinya hanya ada 3 ( tiga ) ; yakni sewaktu
Bung Karno membacakan teks Proklamasi, pada saat pengibaran bendera,
dan sebagian foto hadirin yang menyaksikan peristiwa yang sangat
bersejarah itu.
0 komentar:
Posting Komentar