Minggu, 29 April 2012
Dengan berlangsungnya proses transisi
menuju demokrasi, beberapa pertanyaan muncul: akankah sebuah rezim
demokratis yang solid bisa dihadirkan di Indonesia? Ataukah rezim
otoriter, dengan beragam bentuk dan levelnya, tetap mewarnai politik
domestik Indonesia dan pada akhirnya wajah sentralistis dari perumusan
kebijakan luar negeri kita tetap dominan?
Di
sisi lain, politik internasional pun mengalami perubahan
fundamental. Setelah Perang Dingin usai, yang ditandai dengan runtuhnya
tembok Berlin yang menyimbolisasi dunia yang bipolar dan pecah
berantakannya negara Uni Soviet, format konstelasi politik
internasional belum lagi menemukan bentuknya. Variabel yang harus
diperhatikan pun semakin kompleks setelah terjadinya aksi terorisme ke
New York dan Washington pada 11 September 2001. Perang melawan teror
yang dikampanyekan Amerika Serikat di seluruh dunia, amanat
demokratisasi dan juga tantangan-tantangan baru yang muncul setelah
Perang Dingin membawa kita pada satu pertanyaan: di manakah dan
bagaimanakah Indonesia menempatkan dirinya?
Tampaknya
peristiwa 11 September 2001 dan segala konsekuensi yang mengikutinya
menunjukkan dengan sangat jelas, baik kepada warga negara biasa
ataupun para pembuat kebijakan, bahwa politik domestik Indonesia
sangat terkait erat dengan dinamika politik internasional dan
demikian pula sebaliknya. Bila dulu dikenal adagium foreign policy
begins at home, yang menyiratkan pengertian bahwa politik luar negeri
merupakan cerminan dari politik dalam negeri, maka kini kita bisa
saksikan bahwa politik domestik bisa amat dipengaruhi oleh dinamika
eksternal kita.
Menteri Luar
Negeri Hassan Wirajuda dalam pernyataan pers Departemen Luar Negeri
(Deplu) yang dikeluarkan awal 2002 ini menyebut faktor ‘intermestik’,
yakni keharusan untuk mendekatkan faktor internasional dan faktor
domestik dalam mengelola diplomasi. Artinya, diplomasi tidak lagi hanya
dipahami dalam kerangka memproyeksikan kepentingan nasional
Indonesia ke luar, tapi diplomasi juga menuntut kemampuan untuk
mengomunikasikan perkembangan-perkembangan dunia luar ke dalam negeri.
Konsekuensi logis dari situsi ini adalah bahwa kita harus mampu
berpikir outward-looking dan inward-looking pada saat bersamaan.
Sudah
jelas bagi kita bahwa setelah Perang Dingin usai, isu utama dalam
politik internasional bergeser dari rivalitas ideologis dan militer
mejadi isu-isu mengenai kesejahteraan ekonomi yang mewujud dalam
usaha meliberalisasi perdagangan dunia, demokrasi, dan perlindungan
terhadap lingkungan hidup. Singkatnya, di samping isu yang
state-centric, isu-isu yang nonstate centric semakin mendapatkan
perhatian.
Isu-isu ini tidak
meniadakan isu keamanan dan isu militer lama, akan tetapi banyak aspek
dari isu keamanan mengalami perubahan bentuk. Pada dekade 1990-an,
isu keamanan nontradisional berbasis maritim semakin mengemuka.
Statistik memperlihatkan bahwa isu keamanan nontradisional seperti
pembajakan (piracy at sea), people smuggling, human-trafficking,
serta isu small arms transfer semakin meningkat frekuensinya. Bagi
negara kepulauan dengan batas wilayah yang terbuka dan luas seperti
Indonesia, tentu saja hal ini menjadi persoalan yang harus mendapat
perhatian utama.
Diplomasi kita
telah berhasil mengadvokasi kepentingan Indonesia melalui diakuinya
status Indonesia sebagai negara kepulauan melalui Law of The Sea
Convention pada 1982. Dalam sebuah tulisannya, Professor Hasjim
Djalal menyebutkan bahwa penerapan status kepulauan ini telah
memperluas wilayah laut Indonesia hingga 5 juta kilometer persegi!
Karena itu, menjaga kedaulatan dan keamanan laut dan udara di atasnya
akan menjadi tantangan terbesar bagi Indonesia di masa yang akan
datang. Hal ini tidak hanya menjadi tugas angkatan bersenjata kita
untuk semakin mengorientasikan diri pada pengembangan kapasitas
kelautan dan udara daripada terus-menerus bertumpu pada kekuatan
teritorial darat yang bisa dikatakan semakin tidak relevan apabila
dikaitkan jenis dan bentuk ancaman yang baru tersebut.
Tentunya,
kebijakan luar negeri kita harus mampu meneruskan keberhasilan
diplomasi bidang kemaritiman yang sudah berhasil dicapai dan
menginkorporasikannya dengan tantangan berbasis maritim seperti
tersebut di atas. Kelak kita perlu memilih apakah Indonesia akan
memaksimalkan potensinya menjadi sebuah maritime power sungguhan atau
hanya menjadikannya sebagai legenda historis nenek moyang.
Demokratisasi
dan juga situasi eksternal yang berubah cepat juga menimbulkan
situasi di mana keterlibatan sebanyak mungkin aktor, baik negara
ataupun nonnegara, dalam kebijakan luar negeri Indonesia semakin
tidak terhindarkan. Kasus Timor Timur menjadi pelajaran penting
karena ia memperlihatkan bagaimana advokasi kelompok-kelompok
nonnegara yang bergerak dalam bidang HAM sangat efektif dalam proses
perjuangan masyarakat Timor Timur mencapai kemerdekaannya. Sementara,
Indonesia sangat terlambat dalam melibatkan beragam aktor nonnegara
dalam berbagai isu.
Kendala utamanya tampaknya terletak pada
mindset kita bahwa kedaulatan negara dipahami sebagai sebuah konsepsi
yang state-centric, sehingga isu-isu seperti hak asasi manusia,
lingkungan hidup, dan human security yang tentu saja akan melibatkan
aktor-aktor nonnegara dianggap sebagai isu yang akan mereduksi
kedaulatan dari state. Padahal, sebagaimana disebutkan di awal tulisan
ini, politik luar negeri harus dibimbing tidak hanya oleh
prinsip-prinsip ideasional belaka, tapi harus pula dibimbing oleh
prinsip-prinsip rasional. Ketika situasi dan tantangan yang ada semakin
menuntut keterlibatan lebih banyak aktor untuk menghadapinya maka
tidak ada pilihan lain selain mengakomodasinya. Di samping itu,
demokratisasi menuntut keadaan ketika semua orang atau kelompok
memiliki akses yang sama terhadap perumusan kebijakan, termasuk
kebijakan luar negeri. Hal terakhir yang penting adalah prinsip bebas
aktif harus ditafsirkan sebagai sebuah situasi di mana Indonesia
bebas memilih dengan siapa ia bisa memajukan kepentingan nasionalnya
secara aktif. Karena kita tidak lagi hidup dalam dunia dikotomis
seperti pada masa Perang Dingin
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar